RIYADH (voa-islam): Sheikh Adel Al-Kalbani dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan dan diterbitkan dalam situs resminya di internet membela fatwanya yang membolehkan nyanyian, menegaskan bahwa nyanyian diperbolehkan dengan semua keadaannya baik itu diiringi musik atau tidak, asalkan tidak disertai dengan hal memalukan, mabuk-mabukkan atau kata-kata cabul.
Dia mengkritik setiap orang yang menuduhnya mendatangkan sesuatu yang baru, atau mengkritik dia secara pribadi, dan menekankan bahwa tidak ada nas yang eksplisit dalam Al-Qur'an atau Sunnah yang menjelaskan pengharaman nyanyian, menganggap bahwa perkara itu pernah memicu perselisihan besar antara ulama sepanjang zaman, mengatakan bahwa "adanya perselisihan ulama menunjukkan bahwa tidak ada nas eksplisit yang mengharamkannya".
Al-Kalbani yang merupakan imam dan khatib masjid jami Rajhi di Riyadh menambahkan "tidak ditemukan dalam syariat Allah Ta'alaa dalil yang melarang manusia menikmati suara yang merdu dan bagus, bahkan dalam syariat ada anjuran dan isyarat kepadanya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: " ajarkanlah kepada Bilal, karena suaranya lebih merdu darimu, sesungguhnya Allah membenci suara keledai yang buruk".
Ia melanjutkan: "ada riwayat yang shahih dari Umar radhiallahu anhu bahwa beliau berkata: "nyanyian adalah bekal musafir" dan beliau memiliki seorang penyanyi bernama "Khawat" yang terkadang menyanyi untuknya dalam perjalanan hingga waktu sahur. Para ulama telah berselisih dalam hal nyanyian sejak zaman dulu, dan saya tidak akan bisa menyelesaikan perselisihan memutuskan perdebatan dalam makalah seperti ini, tapi saya hanya ingin mencatat bahwa pendapat yang membolehkannya bukan pendapat yang baru dan ganjil, bahkan bukan termasuk pendapat yang keluar dari ijma', karena bagaimana bisa ada ijma' atas pengharamannya sedangkan para ulama besar membolehkannya? .. Salah satu dalil yang kuat adalah diperbolehkannya nyanyian selama turunnya Al-Quran, dan di bawah pendengaran dan penghilahat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau membiarkannya, dan memerintahkannya, dan mendengarnya, dan menganjurkannya, dalam walimah pernikahan dan hari raya"
Tidak ada nas eksplisit yang melarang nyanyian
Al-Kalbani yang memicu gelombang ketidakpuasan para ulama akibat fatwanya berhujah bahwa tidak ada nas eksplisit yang melarang nyanyian secara mutlak, dan mengatakan: "diantara dalil yang membolehkannya juga anda tidak akan menemukan dalam buku-buku Islam dan rujukannya nas yang melarangnya, jika Anda membaca kitab hadits yang enam tidak akan menemukan didalamnya bab pelarangan nyanyian, makruhnya nyanyian, atau hukum nyanyian, tapi para fuqaha menyebutkannya dalam hukum Perkawinan dan apa yang disyariatkan didalamnya, begitu juga dalam bab hukum seputar hari raya dan apa yang disyariatkan didalamnya.
Dia menambahkan: jika Anda melihat dalam Al-Qur'an dan Sunnah anda akan menemukan bahwa segala sesuatu yang hendak dilarang Allah pasti disertakan nas yang tidak bisa dibantah, demikian pula semua yang diwajibkan Allah,disetai nas yang tidak diperselisihkan, dan ketika Allah hendak memberi kelonggaran dan ruang bagi manusia untuk memahami nas-nas dalam kitab-Nya, atau Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam maka Allah mendatangkan nas yang mengandung dua kemungkinan pendapat atau lebih, oleh karena itu manusia sepanjang zaman sepakat jumlah rakaat shalat dan waktu-waktunya- waktu asalnya- dan rakaat setiap shalat dan gerakan shalat, dan tata caranya, dan mereka berselisih dalam rinciannya, seperti dalam takbiratul ihram hingga salam, dan pendapat-pendapat dalam hal itu sangat dikenal, demikian juga dalam zakat dan puasa dan haji".
Ia melanjutkan: "Jika larangan nyanyian jelas dan gamblang niscaya mereka yang mengharamkannya tidak perlu mencatut nas-nas dari sana sini, serta mengumpulkan perkataan para ulama yang membencinya, mereka cukup menunjukkan nas eksplisit dan shahih lalu memutuskan persengketaan, maka adanya perselisihan adalah bukti bahwa itu tidak haram dengan pengharaman yang jelas seperti yang ditetapkan Imam Syafi'i, saya katakan seperti itu sudah cukup untuk membuktikan halalnya nyanyian bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharamkannya secara eksplisit, dan mereka yang mengharamkannya tidak bisa mendatangkan nas yang mengharamkannya, meski adanya nas-nas yang mengharamkan perkara-perkara yang belum pernah dikenal orang-orang Arab seperti daging babi, dan membicarakan tentang hal-hal yang tidak pernah mereka mimpikan seperti minum dengan wadah emas dan perak, dan mereka melarang para wanita pergi ke masjid karena banyaknya fitnah di setiap zaman".
Al-Kalbani yang sebelumnya pernah menjadi imam di masjidil haram selama bulan Ramadhan tahun lalu mengutip pendapat banyak ulama terdahulu yang membolehkan nyanyian bahkan nyanyian yang disertai musik dan berdalilkan dengan pendapat Imam Syafi'i menganggapnya makruh dan tidak haram.
Sebelumnya fatwa Al-Kalbani yang menghalalkan nyanyian telah memicu kritikan yang luas di Arab Saudi, dan Sheikh Mohammed Deraie membantahnya: bahwa "jika fatwa asing ini" menurut penjelasannya di publikasikan dalam kehidupan Syaikh Muhammad Ibn Brahim atau Abdul Aziz bin Baz pasti akan diperintahkan dipenjara dan dipotong lidah yang mengucapkannya, dan menyarankan Al-Kalbani dan lainnya "menuju ke pasar sayuran, bukan berfatwa".
Perlu diketahui bahwa ada hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya nyanyian seperti perkataan Ibnu Mas'ud yang bersumpah bahwa yang dimaksud lahwal hadits adalah nyanyian, dan riwayat Umar tidak menunjukkan halalnya nyanyian karena yang dimaksud ketika itu lantunan syair yang baik tanpa disertai dengan musik.
Demikian juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "akan ada diantara umatku kaum yang menghalalkan zina, sutera, dan alat musik" hadits shahih.
(ar/alarabiya)
Dia mengkritik setiap orang yang menuduhnya mendatangkan sesuatu yang baru, atau mengkritik dia secara pribadi, dan menekankan bahwa tidak ada nas yang eksplisit dalam Al-Qur'an atau Sunnah yang menjelaskan pengharaman nyanyian, menganggap bahwa perkara itu pernah memicu perselisihan besar antara ulama sepanjang zaman, mengatakan bahwa "adanya perselisihan ulama menunjukkan bahwa tidak ada nas eksplisit yang mengharamkannya".
Al-Kalbani yang merupakan imam dan khatib masjid jami Rajhi di Riyadh menambahkan "tidak ditemukan dalam syariat Allah Ta'alaa dalil yang melarang manusia menikmati suara yang merdu dan bagus, bahkan dalam syariat ada anjuran dan isyarat kepadanya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: " ajarkanlah kepada Bilal, karena suaranya lebih merdu darimu, sesungguhnya Allah membenci suara keledai yang buruk".
Ia melanjutkan: "ada riwayat yang shahih dari Umar radhiallahu anhu bahwa beliau berkata: "nyanyian adalah bekal musafir" dan beliau memiliki seorang penyanyi bernama "Khawat" yang terkadang menyanyi untuknya dalam perjalanan hingga waktu sahur. Para ulama telah berselisih dalam hal nyanyian sejak zaman dulu, dan saya tidak akan bisa menyelesaikan perselisihan memutuskan perdebatan dalam makalah seperti ini, tapi saya hanya ingin mencatat bahwa pendapat yang membolehkannya bukan pendapat yang baru dan ganjil, bahkan bukan termasuk pendapat yang keluar dari ijma', karena bagaimana bisa ada ijma' atas pengharamannya sedangkan para ulama besar membolehkannya? .. Salah satu dalil yang kuat adalah diperbolehkannya nyanyian selama turunnya Al-Quran, dan di bawah pendengaran dan penghilahat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau membiarkannya, dan memerintahkannya, dan mendengarnya, dan menganjurkannya, dalam walimah pernikahan dan hari raya"
Tidak ada nas eksplisit yang melarang nyanyian
Al-Kalbani yang memicu gelombang ketidakpuasan para ulama akibat fatwanya berhujah bahwa tidak ada nas eksplisit yang melarang nyanyian secara mutlak, dan mengatakan: "diantara dalil yang membolehkannya juga anda tidak akan menemukan dalam buku-buku Islam dan rujukannya nas yang melarangnya, jika Anda membaca kitab hadits yang enam tidak akan menemukan didalamnya bab pelarangan nyanyian, makruhnya nyanyian, atau hukum nyanyian, tapi para fuqaha menyebutkannya dalam hukum Perkawinan dan apa yang disyariatkan didalamnya, begitu juga dalam bab hukum seputar hari raya dan apa yang disyariatkan didalamnya.
Dia menambahkan: jika Anda melihat dalam Al-Qur'an dan Sunnah anda akan menemukan bahwa segala sesuatu yang hendak dilarang Allah pasti disertakan nas yang tidak bisa dibantah, demikian pula semua yang diwajibkan Allah,disetai nas yang tidak diperselisihkan, dan ketika Allah hendak memberi kelonggaran dan ruang bagi manusia untuk memahami nas-nas dalam kitab-Nya, atau Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam maka Allah mendatangkan nas yang mengandung dua kemungkinan pendapat atau lebih, oleh karena itu manusia sepanjang zaman sepakat jumlah rakaat shalat dan waktu-waktunya- waktu asalnya- dan rakaat setiap shalat dan gerakan shalat, dan tata caranya, dan mereka berselisih dalam rinciannya, seperti dalam takbiratul ihram hingga salam, dan pendapat-pendapat dalam hal itu sangat dikenal, demikian juga dalam zakat dan puasa dan haji".
Ia melanjutkan: "Jika larangan nyanyian jelas dan gamblang niscaya mereka yang mengharamkannya tidak perlu mencatut nas-nas dari sana sini, serta mengumpulkan perkataan para ulama yang membencinya, mereka cukup menunjukkan nas eksplisit dan shahih lalu memutuskan persengketaan, maka adanya perselisihan adalah bukti bahwa itu tidak haram dengan pengharaman yang jelas seperti yang ditetapkan Imam Syafi'i, saya katakan seperti itu sudah cukup untuk membuktikan halalnya nyanyian bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharamkannya secara eksplisit, dan mereka yang mengharamkannya tidak bisa mendatangkan nas yang mengharamkannya, meski adanya nas-nas yang mengharamkan perkara-perkara yang belum pernah dikenal orang-orang Arab seperti daging babi, dan membicarakan tentang hal-hal yang tidak pernah mereka mimpikan seperti minum dengan wadah emas dan perak, dan mereka melarang para wanita pergi ke masjid karena banyaknya fitnah di setiap zaman".
Al-Kalbani yang sebelumnya pernah menjadi imam di masjidil haram selama bulan Ramadhan tahun lalu mengutip pendapat banyak ulama terdahulu yang membolehkan nyanyian bahkan nyanyian yang disertai musik dan berdalilkan dengan pendapat Imam Syafi'i menganggapnya makruh dan tidak haram.
Sebelumnya fatwa Al-Kalbani yang menghalalkan nyanyian telah memicu kritikan yang luas di Arab Saudi, dan Sheikh Mohammed Deraie membantahnya: bahwa "jika fatwa asing ini" menurut penjelasannya di publikasikan dalam kehidupan Syaikh Muhammad Ibn Brahim atau Abdul Aziz bin Baz pasti akan diperintahkan dipenjara dan dipotong lidah yang mengucapkannya, dan menyarankan Al-Kalbani dan lainnya "menuju ke pasar sayuran, bukan berfatwa".
Perlu diketahui bahwa ada hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya nyanyian seperti perkataan Ibnu Mas'ud yang bersumpah bahwa yang dimaksud lahwal hadits adalah nyanyian, dan riwayat Umar tidak menunjukkan halalnya nyanyian karena yang dimaksud ketika itu lantunan syair yang baik tanpa disertai dengan musik.
Demikian juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "akan ada diantara umatku kaum yang menghalalkan zina, sutera, dan alat musik" hadits shahih.
(ar/alarabiya)