Oleh: Syaikh Abu Abdirrahman Hisyam Al-Arif Al-Maqdisi
Membicarakan tanah Palestina, tentu tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Masjidil Aqsha yang penuh berkah ini. Terdapat banyak nash yang secara jelas menunjukkan keutamaan masjid ini. Berikut kami bawakan risalah Syaikh Abu Abdirrahman Hisyam Al-Arif Al-Maqdisi, yang termuat dalam Majalah Al-Ashalah, Edisi 30/Tahun ke 5/15 Syawwal 1421H. Risalah ini sangat bermanfaat membantu pengertian dan pemahaman kita terhadap Masjidil Aqsha. Sehingga kepedulian dan harapan kaum Muslimin terhadap masjid yang pernah menjadi kiblat kaum Muslimin ini memiliki hujjah yang nyata.
Masjid Manakah Yang Dibangun Pertama Kali Di Muka Bumi?
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata
“Aku bertanya, “Wahai, Rasulullah. Masjid manakah yang pertama kali dibangun?” Beliau menjawab, ‘Masjidil Haram”. Aku bertanya lagi: Kemudian (masjid) mana?” Beliau menjawab, “Kemudian Masjidil Aqsha”. Aku bertanya lagi: “Berapa jarak antara keduanya?” Beliau menjawab, “Empat puluh tahun. Kemudian dimanapun shalat menjumpaimu setelah itu, maka shalatlah, karena keutamaan ada padanya”. Dan dalam riwayat lainnya: “Dimanapun shalat menjumpaimu, maka shalatlah, karena ia adalah masjid” [HR Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Dzar]
Keutamaan Shalat Di Masjidil Aqsha
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.
“Sesungguhnya , ketika Sulaiman bin Dawud membangun Baitul Maqdis, (ia) meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tiga perkara. (Yaitu), meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar (diberi taufiq) dalam memutuskan hukum yang menepati hukumNya, lalu dikabulkan ; dan meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dianugerahi kerajaan yang tidak patut diberikan kepada seseorang setelahnya, lalu dikabulkan ; serta memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bila selesai membangun masjid, agar tidak ada seorangpun yang berkeinginan shalat disitu, kecuali agar dikeluarkan dari kesalahannya, seperti hari kelahirannya” (Dalam riwayat lain berbunyi: Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Adapun yang dua, maka telah diberikan. Dan saya berharap, yang ketigapun dikabulkan)” [Hadits ini diriwayatkan An-Nasa’i, dan ini lafadz beliau, Ahmad dalam musnad-nya dengan lebih panjang lagi. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Haakim dalam kitab Mustadrak dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, serta selain mereka]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Kami saling bertukar pikiran tentang, mana yang lebih utama, masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau Baitul Maqdis, sedangkan di sisi kami ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu shalat di masjidku lebih utama dari empat shalat padanya, dan ia adalah tempat shalat yang baik. Dan hampir-hampir tiba masanya, seseorang memiliki tanah seukuran kekang kudanya (dalam riwayat lain: seperti busurnya) dari tempat itu terlihat Baitul Maqdis lebih baik baginya dari dunia seisinya” [HR Ibrahim bin Thahman dalam kitab Masyikhah Ibnu Thahman, Ath-Thabrani dalam kitab Mu’jamul Ausath, dan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya. Adz-Dzahabi dan Al-Albani sepakat dengan beliau]
Hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang pahala shalat di Masjidil Aqsha. Hadits ini menunjukkan, shalat di Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti empat shalat di Masjid Aqsha. Pahala shalat di Masjidil Aqsha setara dengan 250 kali (di masjid lainnya).
Syaikh kami (Al-Albani) dalam kitab Silsilah Shahihah (2902) mengatakan: “Hadits yang paling shahih tentang keutamaan shalat di sana (Masjidil Aqsha) adalah hadits Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami saling bertukar pikiran tentang, mana yang lebih utama, masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau Baitul Maqdis, sedangkan di sisi kami ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu shalat di masjidku lebih utama dari empat shalat padanya, dan ia adalah tempat shalat yang baik….”
Hadits ini termasuk bukti kenabian Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu berita bahwa seseorang berangan-angan memiliki tanah meskipun sedemikian sempit, asalkan dapat melihat dari dekat Baitul Maqdis dari tanahnya tersebut.
Dalam tahqiqnya terhadap kitab Masyikhah Ibnu Thahman Dr. Muhammad Thahir Malik berkata: Sangat disayangkan, kenyataan menunjukkan, bahwa kita berada di tengah upaya mewujudkan (yang disebutkan) dalam hadits ini, yang merupakan tanda kenabian. Juga konspirasi para musuh terhadap Masjidil Aqsha dan Baitul Maqdis akan terus berlangsung dan semakin besar, serta semakin dahsyat, sampai pada derajat seorang muslim berangan-angan memiliki sedikit tempat disana untuk melihat Baitul Maqdis, yang menurutnya lebih daripada isi dunia seluruhnya. Tidak diragukan lagi setelah itu akan ada jalan keluar dan kemenangan, Insya Allah. Segala sesuatunya di tangan Allah, dan Allah berkuasa terhadap urusanNya, telapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Saya katakan: “Yang disampaikan Muhammad Thahir Malik ini terjadi pada tahun 1403H, bertepatan dengan 1983M. sungguh kenyataan yang terjadi sekarang ini lebih besar dan mengisyaratkan secara tepat tentang kesesuaian hadits ini dengan zaman sekarang. Tidak diragukan lagi, jalan keluar dan kemenangan yang beliau jelaskan tersebut, tergantung kepada kembalinya kaum Muslimin kepada agama Allah. Yaitu dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah. Adapun angan-angan seorang muslim mendapatkan sedikit tanah tersebut untuk melihat Baitul Maqdis, diisyaratkan dengan pemahamannya terhadap aqidah, baik secara keilmuan maupun amalan
Ketika takhrij hadits ini dicetak pada tanggal 5 Muharam 1418H, bertepatan 12 Mei 1997, orang Yahudi telah menetapkan penggabungan pemukiman-pemukiman mereka mengelilingi Baitul Maqdis ke Baitul Maqdis (Al-Quds), dalam satu distrik yang terpusat. Ini terjadi setelah dimulainya pembangunan pemukiman baru di Bukit Abu Ghunaim. Pemukiman-pemukiman ini termasuk sebagai upaya menambah pemukiman-pemukiman (Yahudi) yang dibangun di sekitar Baitul Maqdis (Al-Quds). Sehingga nantinya, Baitul Maqdis dikelilingi dengan pemukiman-pemukiman Yahudi, seperti tembok pada tempat perlindungan setelah mengepung kota Al-Quds sejak enam tahun lalu, disertai pos-pos pemeriksaan militer. (Dimaksudkan) untuk mencegah penduduk Palestina di Ghaza sebelah barat terhalang (tidak) masuk ke Baitul Maqdis atau shalat di Masjidil Aqsha
Perlu diketahui, banyak kelompok orang-orang Yahudi dengan beragam nama, mereka berusaha terus menerus mengganggu kaum Muslimin di dalam Masjidil Aqsha, dengan dalih, mereka melakukan shalat disana, sehingga menimbulkan bentrokan antara kaum Muslimin yang sedang melakukan shalat di dalam masjid tersebut, dengan tentara Yahudi. Ini mengakibatkan banyak korban yang terbunuh dan luka-luka. Akhir perlawanan ini terjadi ketika Yahudi membuat terowongan di bawah Masjidil Aqsha.
Sejak pendudukan Yahudi atas bagian timur kota Al-Quds pada tanggal 5 Haziraan (Juni) 1967M, setelah pendudukan bagian baratnya pada tanggal 15 Ayaar (Mei) 1948M, kemudian orang-orang Yahudi melarang kaum Muslimin memperluas banguan dan pemukiman, serta mereka meratakan bangunan-bangunan yang tidak memiliki surat izin mendirikan bangunan. Juga berusaha mempersulit orang Arab Palestina, agar meninggalkan kota, tinggal di luar kota dan orang yang telah mengungsi dianggap telah bermukim di luar kota Al-Quds. Wallahu Mustaan.
Setelah perang tahun 1967M, orang-orang Yahudi memperluas bagian timur kota Al-Quds dan menggabung 66 ribu Dunum[1] dari wilayah Ghaza disebelahnya. Agar luas kota Al-Quds menjadi 72 ribu Dunum. Yahudi juga bergerak, dengan menambah tiga orang Yahudi pada setiap orang Arab di kota Al-Quds bagian timur. Oleh karena itu, perpindahan orang-orang Yahudi ke kota Al-Quds bagian timur terus menerus dilakukan. Kantor kementrian dalam negeri melakukan usaha untuk tidak menyatukan keluarga-keluarga yang telah terpisah di Al-Quds. Juga pemerintah bagian perkotaannya (Al-Baladiyah), kota Al-Quds menolak memberikan izin pendirian bangunan dan menghancurkan bangunan yang tidak ada izinnnya.
Berdasarkan ini semua, usaha-usaha mereka ini berhasil dan memaksa banyak penduduk Al-Quds mengungsi ke daerah pinggiran di luar batas kota Al-Quds, seperti Ar-Rami, Dhahiyah Al-Barid, Abu Dis dan Al-Izariyah.
Pembagian wilayah-wilayah pinggiran ke wilayah yang ikut kota Al-Quds dan yang lainnya ke Ghaza Barat, serta mempersulit penduduk Al-Quds dalam pendirian bangunan, membuat penduduk wilayah pinggiran memperluas pendirian bangunan pada bagian wilayah yang masuk Ghaza Barat, karena undang-undang yang khusus dalam perizinan bangunan lebih mudah. Perbedaannya jelas, yaitu untuk memindahkan dan mengusir secara resmi penduduk Al-Quds ke wilayah pinggiran, yang terletak di Ghaza Barat secara bertahap. Tujuannya, diantaranya untuk memperkecil jumlah orang-orang Palestina di kota Al-Quds.
Pentingnya pemukiman-pemukiman yang dibangun di sekitar Al-Quds sebelah timur di jalur Ghaza Barat, seperti kota Ma’alaih Adwamim, Ja’bat Za’if dan sebagainya adalah untuk menjadikan kota-kota pemukiman Yahudi di jalur Ghaza mengitari dan melindungi kota Al-Quds. Maka, pada akhir tahun tujuh puluhan dan awal-awal delapan puluhan (Masehi) telah dibangun kota Ma’alih Adwamim ke arah timur dari Al-Quds, kota Ja’bat Za’if ke arah barat laut, dan kota Afrat ke arah selatan. Masing-masing kota ini memiliki beragam tugas penting yang berbeda.
Kota Ma’alih Adwamim dibangun untuk memisahkan Al-Quds timur dengan jalur Ghaza Barat, dan sebagai penghalang interaksi antara penduduk Arab di Al-Quds Timur dengan Ghaza Barat. Juga untuk mencegah perkembangan perkampungan Arab di timur kota Al-Quds, yang telah selesai ditentukannya perluasan wilayah, pengembangannya, serta rencana untuk memperluas batas kota Ma’alih Adwamim, sehingga menyatu dengan kota Ja’bat Za’if dan kota Nabi Ya’qub. Dengan begitu, sempurnalah membentengi daerah timur. Hal itu bertujuan untuk menegaskan pembatas atau pemisah antara Al-Quds dengan Ghaza.
Kota Ja’bat Za’if, disamping sebagai pemukiman Yahudi, kota ini dibangun untuk merealisasikan beberapa tugas lain. Di antara tugas tersebut ialah.
a). Menghambat perkembangan tanah Palestina yang subur ini, dari arah barat laut dengan cara melakukan perampasan tanah.
b). Mencegah interaksi antar organisasi Palestina di tanah subur Palestina ( Ar-Rif Falastini) yang dekat dengan Al-Quds
c). Menghalangi interaksi antara daerah Ramilah dan Al-Quds, dengan cara membangun wilayah ini ditempat tersebut.
Kota Bitar dan Afrat. Tugas dua kota ini, yaitu:
a). Menyatukan organisasi-organisasi Yahudi di batas wilayah barat daya kota Al-Quds, dan mengahalangi perluasan Palestina dari kota Al-Quds
b). Menjaga hubungan antara daerah dan penduduk Yahudi Al-Quds dan apa yang dinamakan Ghausy Atshiyun ke arah barat daya Al-Quds [2]
Jangan Bersusah Payah Bepergian, Kecuali Menuju Tiga Masjid
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak boleh bersusah-payah bepergian, kecuali ke tiga masjid, (yaitu) Masjidil Haram, Masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Masjidil Aqsha” [HR Al-Bukhari dan Muslim]
I’tikaf Di Masjidil Aqsha
Dari Abu Wa’il Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Hudzaifah bin Al-Yaman berkata kepada Abdullah bin Mas’ud ; “I’tikaf antara rumahmu dan rumah Abu Musa tidak masalah [3], padahal aku mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid’, Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Mungkin engkau lupa sementara mereka hafal. Engkau salah dan mereka benar” [HR Al-Baihaqi dalam kitab Sunan Al-Kubra dan Ath-Thahawi dalam kitab Al-Musykil, serta Al-Ismail dalam kitab Al-Mu’jam. Hadits ini terdapat di dalam kitab Silsilah Ash-Shahihah no. 2786 dan beliau berkata, ‘Shahih atas syarat Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim)].
Syaikh kami (Al-Albani) berkata: Pernyataan Ibnu Mas’ud bukanlah untuk menyalahkan Hudzaifah dalam periwayatan lafadz hadits ini. Namun tampaknya beliau menyalahkan Hudzaifah dalam pengambilan hukum (istidlal) i’tikaf yang diingkari Hudzaifah, karena ada kemungkinan pengertian hadits menurut Ibnu Mas’ud adalah tidak ada i’tikaf yang sempurna, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada iman yang sempurna bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama yang sempurna bagi orang yang tidak menepati janjinya”
Kemakmuran Baitul Maqdis
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pembangunan menyeluruh [4] Baitul Maqdis adalah waktu kerusakan [5] Madinah, dan kerusakan Madinah adalah waktu keluarnya Malhamah (perang), dan keluarnya Malhamah adalah waktu penaklukan Konstantinopel, dan penaklukan Konstantinopel adalah waktu (dekat) keluarnya Dajjal”, kemudian beliau memukul paha atau bahu orang yang diajak bicara dengan tangannya, seraya bersabda, “Ini sungguh sebuah kebenaran sebagaimana benarnya kamu disini, atau sebagaimana kamu duduk, yaitu Muadz bin Jabal” [HR Ahmad, Abu Dawud, Ali bin Al-Ja’d, Abu Bakar bin Abu Syaibah dan lainnya]
Keutamaan lainnya dari Masjidil Aqsha adalah ; Tidak dimasuki Dajjal, Ya’juj Wa Ma’juj dan Bukit Baitul Maqdis.[6]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_________
Footnotes
- Ukuran luas tanah 1000M2, pent
- Lihat bagian kedua kitab Sukkan wa Masakin Dhawahi Al-Quds Al-Syarqiyah, Muhammad Mathar An-Nakhal, Universitas Ad-Dirasat Al-Arabiyah, Dairatul Ahbats Al-Quds, Al-Quds, Kanuun Tsani (Januari) 1996M
- Maksudnya sama saja, tidak sah
- Disebabkan banyaknya orang, bangunan dan harta.
- Berkaitan dengan kerusakan kota Madinah, Al-Qari berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud adalah pembangunan yang sempurna dalam bangunan yaitu pembangunan Baitul Maqdis sempurna melampaui batas adalah waktu kerusakan kota Madinah karena Baitul Maqdis tidak rusak.
- Penjelasannya lihat majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun X/1427H/2006M. (almanhaj.or.id)